Senin, 30 Januari 2012

MENJUNJUNG PRINSIP MENYAMA BRAYA


Kampung Islam Kepaon (GATRA/Edward Luhukay)Relief kecil di tugu merah itu tampak mencolok. ''Anda memasuki wilayah kampung Islam,'' Bemikian bunyi tulisan relief bercat hitam di bagian atas tugu berornamen Bali di tepi Jalan Raya Pemogan, Denpasar, itu. Tugu setinggi pundak orang dewasa ini berdiri di depan rumah berbenteng yang di halamannya terdapat pura.

Di halaman rumah yang ditumbuhi pohon kamboja itu juga terpasang payung berbalut kain poleng corak papan catur. Sekitar 20 meter di seberang rumah itu, berdiri gapura yang terbuat dari pipa besi bercat hijau. Di puncak gapura terpasang hiasan dua dimensi berbentuk setengah kubah masjid, yang di bawahnya bertulisan "Masjid Al-Muhajirin".

Bangunan itu jelas berbeda dari banguan lain di sekitarnya. Ada dua rambu ''Hati-hati ada upacara adat'' tersimpan di sisi gang, tak sampai satu meter dari gapura. Rambu-rambu itu biasa dipakai memblokir jalan ketika berlangsung upacara adat Bali. Sedangkan gapura itu merupakan gerbang Masjid Al-Muhajirin.

Di sepanjang kiri-kanan gang menuju masjid, terdapat rumah-rumah yang tidak seperti milik penduduk Bali lainnya. Halaman rumahnya tak ditumbuhi pohon kamboja. Pelinggihan tempat menaruh sesaji juga tak tampak di halaman mereka. Wilayah itu terkenal dengan sebutan Kampung Islam Kepaon.

''Kepaon itu dalam bahasa Bali artinya ke pawon atau ke dapur,'' kata pengurus Masjid Al-Muhajirin, H.M. Sya'rani, 58 tahun. Sedangkan dalam bahasa Arab, maksudnya adalah kaffah, lengkap. ''Jadi, orang belum bisa masuk ke dapur kalau isinya belum lengkap, belum ada beras dan lain-lain,'' ujarnya memberi metafora.

Kampung Islam Kepaon berjarak sekitar 5 kilometer arah selatan pusat kota Denpasar. Kini kampung itu dihuni 225 kepala keluarga. Desa itu dikelilingi perkampungan yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu. Masjid Al-Muhajirin berdiri sejak tahun 1326 Hijriah. Ketika didirikan, masjid itu berukuran 12 x 12 meter. ''Bangunannya bagus, terbuat dari tanah setebal setengah meter,'' kata Sya'rani.

Pada 1976, tembok masjid itu retak akibat gempa yang menggoyang Pulau Dewata berkuatan 6,7 skala Richter. Sya'rani ingat betul, karena gempa itu terjadi sehari menjelang keberangkatannya mewakili Bali mengikuti Musabaqah Tilawatil Quran tingkat nasional. ''Karena gempa itu, saya batal berangkat,'' tutur lelaki yang menjadi pengurus masjid sejak 1973 itu.

Pada waktu itu, ia ditugasi menjadi panitia renovasi masjid. Perlahan-lahan, masjid itu dibangun kembali, hingga 1991. Masjid kuno bertiang empat itu dipugar menjadi bangunan permanen satu lantai. Sekalipun begitu, ''Jamaahnya penuh terus sampai meluber ke luar masjid,'' kata Sya'rani. Lima belas tahun kemudian, masjid itu ditingkatkan menjadi dua lantai.

Meski bangunan masjid sudah bertingkat, tetap saja setiap salat Jumat tak mampu menampung jamaah. ''Umat kami di sini banyak,'' kata ayah 11 anak itu. Sebab jamaahnya tak cuma penduduk yang memeluk agama Islam sejak lahir, ada pula warga setempat yang turut menjadi mualaf.

Sya'rani menuturkan, leluhur warga Kepaon adalah pecahan masyarakat Kampung Bugis yang lebih dulu bermukim di pinggiran Pelabuhan Benoa, Denpasar. Nenek moyang mereka adalah nelayan yang berasal dari Makassar. Para nelayan itu kerap singgah di Tanjung Benoa, hingga kemudian ada yang menikah dengan gadis Bali.

Ketika menetap di Bali, nelayan Bugis itu juga membawa serta agama yang kemudian diturunkan kepada anak-cucunya. Mereka terus beranak-pinak hingga lahan di Kampung Bugis tidak memadai lagi. Akhirnya beberapa penduduk kampung itu mencari lahan di tempat lain. Mereka lalu membuka hutan, yang kemudian dinamai Kepaon.

Versi lain menyebutkan, cikal bakal kampung Islam Kepaon berasal dari 40 pengikut Pangeran Cakraningrat IV, Adipati Bangkalan, Madura. Babad ini bermula dari seorang raja di Puri Pemecutan bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Ia memiliki putri bernama Gusti Ayu Made Rai. Ketika beranjak dewasa, sang putri ditimpa penyakit keras, yakni sakit kuning, selama bertahun-tahun.

Segala upaya tak berhasil memulihkan kesehatan tuan putri. Sang raja lalu meminta petunjuk Yangkuasa. Dari sana, baginda raja mendapat pewisik bahwa ia hendaknya menggelar sabda pandita ratu atau sayembara. Maka, dibuatlah sayembara. Siapa saja yang bisa menyembuhkan penyakit putri raja, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja, jika pria akan dinikahkan dengan putri raja.

Sabda pandita ratu itu menyebar hingga didengar seorang syekh dari Yogyakarta. Syekh itu punya seorang murid kesayangan bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan. Sang guru menganjurkan pangeran mengikuti sayembara tersebut ke Puri Pemecutan, Bali. Lalu berangkatlah Pangeran Cakraningrat ke Bali, diiringi 40 pengikutnya.

Sesampainya di Bali, ternyata banyak putra raja yang mengadu nasib mengikuti sayembara penyembuhan penyakit Raden Ayu di Puri Pemecutan. Mereka datang dari tanah Jawa, seperti Metaum Pura, Gegelang, maupun dari tanah Raja Banten. Putra-putra raja dari tanah Bali pun tidak ketinggalan.

Para putra raja itu saling mengadu kesaktian untuk menghilangkan penyakit Raden Ayu. Namun segala macam ilmu yang mereka kerahkan tak mampu mengobati Raden Ayu. Bahkan membuat penyakitnya kian parah. Raja Pemecutan sedih dan panik karenanya.

Untunglah, di tengah suasana kelam itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat. Harapan Raja Pemecutan bangkit lagi. Cakraningrat dipersilakan mengikuti sayembara. Cakraningrat lalu meminta Raden Ayu ditempatkan di sebuah balai pesamuan agungatau tempat paruman para pembesar kerajaan.

Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan memanjatkan doa. Konon, telapak tangannya memancarkan bulatan cahaya putih. Cahaya itu diarahkan ke tubuh Raden Ayu, sehingga penyakitnya bisa terangkat dan hilang. Raja Pemecutan memenuhi janjinya. Baginda menikahkan Gusti Ayu Made Rai dengan Pangeran Cakraningrat.

Gusti Made Rai menjadi mualaf dan mengikuti kepercayaan suaminya. Ia pun berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah. Raden Ayu sempat dibawa pulang ke Madura, kemudian kembali ke kampung halamannya untuk menyaksikan upacara Meligia di puri tempat kelahirannya.

Sayang, Raden Ayu harus tewas terbunuh atas perintah raja karena disangka menjalankan ilmu hitam. Gara-garanya, seorang patih melihat Raden Ayu menggunakan kain putih. Pembunuhan itu kemudian disesali sang raja, karena ternyata Raden Ayu tidak bermaksud jahat, melainkan sedang menunaikan salat. Konon, ketika ia meninggal, tubuhnya mengeluarkan bau wangi.

Kini makamnya yang terletak di area Sema (kuburan) Badung tak hanya menjadi tempat ziarah umat muslim, melainkan juga umat Hindu maupun Buddha. Sesudah junjungannya wafat, para abdi Pangeran Cakraningrat IV diberi tempat, yang kemudian bernama Kampung Islam Kepaon. Karena itulah, Kampung Kepaon juga disebut-sebut memiliki kaitan erat dan sejarah panjang dengan Puri Pemecutan, Denpasar.

Ada pula versi yang mengisahkan bahwa Kampung Islam Kepaon bermula dari kehadiran para pelaut berdarah Bugis yang mendarat di Bali. Mereka akhirnya mendapat tanah untuk tinggal setelah membantu kerajaan dalam perang antarpuri pada abad ke-18.

Hal itu terlihat dari adanya kesenian yang cukup unik berupa tari rodat. Tarian perang ini menggambarkan kepiawaian leluhur mereka sebagai pasukan perang Raja Badung, Cokorda Pemecutan III, yang bergelar Betara Sakti dari Puri Pemecutan.

Sekalipun berada di tengah-tengah masyarakat Hindu, menurut Sya'rani, hubungan antara umat muslim dan Hindu tak ubahnya perpaduan antara jemari tangan kanan dan kiri. ''Bersatu, saling menghargai, saling mengisi,'' ujarnya, sambil merapatkan kedua tangannya.

Mereka, misalnya, saling menghormati hari besar kepercayaan masing-masing. Pada saat hari raya Nyepi yang melarang umat Hindu menyalakan lampu, misalnya, warga muslim hanya menyalakan lampu di dalam rumah seperlunya. ''Kalau mau keluar, harus jalan kaki dan sesuai dengan keperluan,'' ujar Sya'rani. Lagi pula, jalan-jalan ditutup sehingga tidak bisa ke mana-mana.

Kebetulan hari raya Nyepi 7 Maret lalu jatuh pada hari Jumat. Sehingga, ketika umat Hindu melaksanakan ibadah tapa brata penyepian, umat Islam wajib melaksanakan salat Jumat berjamaah di masjid-masjid. Meskipun berbeda kepentingan, baik umat Hindu maupun Islam tetap dapat menjalankan ibadah masing-masing dengan khusyuk.

''Di Bali tidak ada masalah, yang penting segala sesuatunya dibicarakan dulu,'' ujar Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Badung, I Wayan Karsa. Menurut dia, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) di Bali sangat berperan. Sebulan sebelum hari besar keagamaan, lembaga yang beranggotakan para pemuka agama Hindu, Islam, Kristen, dan Buddha itu bermusyawarah agar perayaan hari besar keagamaan berjalan lancar.

Demikian pula pada saat umat Hindu akan merayakan Nyepi Tahun Saka 1930 itu. Bahkan, pada saat itu, pertemuan FKUB dihadiri Kapolda Bali, Irjen Paulus Purwoko, dan sejumlah tokoh masyarakat. Musyawarah itu menyepakati, antara lain, umat Islam tetap melaksanakan salat Jumat pada saat Nyepi.

Ketika Nyepi, masjid-masjid di Bali tidak menggunakan pengeras suara. Umat Islam juga dianjurkan mencari masjid terdekat untuk menunaikan salat Jumat. Sebab mereka tidak diperkenankan menggunakan kendaraan. Mereka juga dilarang merokok. ''Teman-teman muslim diantar oleh pecalang ke tempat ibadah, bahkan diawasi,'' ujar Wayan.

Wayan bangga atas kerukunan beragama di wilayahnya. Apalagi, heterogenitas umat beragama di Kuta cukup tinggi. Semua itu bisa terwujud karena mereka menjunjung prinsip menyama braya. ''Menganggap semua orang adalah keluarga,'' kata master lulus`n Institut Hindu Dharma Negeri itu.

Prinsip yang tak kalah penting adalah saling menghormati rasa agama. Sebab, menurut Wayan, agama tidak bisa dirukunkan. ''Yang dirukunkan itu umatnya,'' ujarnya.

Sumber : arsip.gatra.com